Pasca tewasnya Wahyu Hidayat (2004) dan Clif Muntu (2007), IPDN menjadi
satu-satunya kampus yang paling populer karena perilaku kekerasan.
Kondisi ini memperburuk citra IPDN sebagai satu-satunya pendidikan tinggi
kepamongprajaan yang memiliki reputasi positif sepanjang didirikan sejak orde
lama dalam bentuk OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, IIP, STPDN hingga IPDN dewasa
ini. Reputasi positif itu relatif dapat dikemukakan dengan indikasi yang
paling dapat dilihat dan dirasakan yaitu kemampuan membangun integrasi,
koordinasi dan menjaga perbedaan dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam mantra internal sekolah kepamongprajaan disemboyankan lewat sesanti Bhinneka
Nara Eka Bhakti (berbeda-beda tetapi satu pengabdian) kepada bangsa dan
negara.
Sebagai konsekuensi dari kondisi IPDN yang mengalami degradasi tersebut,
Presiden SBY mengeluarkan kepres penggabungan STPDN kedalam IIP dengan wajah
baru IPDN. Ini adalah bargaining paling maksimal yang dapat
dicapai oleh tim investigasi pimpinan Prof. Ryaas Rasyid setelah keluar dari
tekanan publik selama berbulan-bulan lamanya. Hasilnya, Presiden
mengambil opsi keempat, yaitu tetap melanjutkan pendidikan kepamongprajaan
dengan konsekuensi regionalisasi. Ringkasnya, sentral pengelolaan kampus
berada di dua lokasi strategis yaitu Jakarta dan Jatinangor. Jakarta
mengelola program pasca sarjana dan penelitian serta pengembangan, sedangkan
Jatinangor fokus mengelola program diploma dengan segala konsekuensinya.
Sebagai tindak lanjut lebih luas dari keppres dimaksud, di awal tahun 2009
ratusan praja kemudian disebar ke sejumlah IPDN regional yang disiapkan
tergesa-gesa pada lima IPDN regional, yaitu Makassar, Manado, Bukit Tinggi, dan
Riau. Hingga tahun 2011, IPDN regional bertambah dengan lahirnya IPDN
regional Mataram, Pontianak dan Papua. Sambil menunggu proses pembangunan
kampus lokal secara permanen melalui kompromi antara Kemendagri dengan
pemerintah provinsi, tahun 2011 IPDN Jatinangor melakukan rekrutmen praja
sebanyak 2000 orang di tengah situasi moratorium pegawai negeri yang dinilai
publik menjadi beban negara. Secara internal dilakukan pula pengembangan
program diploma ke strata satu dan kemungkinan pengembangan program doktoral.
Masalahnya, apakah dampak dari kebijakan tersebut bagi kelangsungan hidup IPDN?
dan mengapa IPDN perlu dipertahankan?
Perspektif
Publik Terhadap IPDN
Dalam tiga bulan terakhir, (antara September-November 2011), terdapat sejumlah
pandangan publik yang masih berpegang pada opini emosional tempo hari yaitu
bubarkan IPDN. Tentu saja kali ini bukan dengan alasan klasik kekerasan,
kendatipun pada saat yang sama publik tak begitu yakin seratus persen atas
reformasi internal yang selama ini telah dilakukan. Sederhananya, apakah benar
slogan dan bahasa baliho no body contack dilingkungan kampus IPDN
Jatinangor berkorelasi kuat dengan kenyataan dilapangan, menyusul keluhan
sejumlah praja tentang tindakan satu-dua oknum bagian pengasuhan yang memang
menjadi momok selama ini. Jangan-jangan di tingkat elitnya saja bahasa itu
luwes diperdengarkan, dilevel operasionalnya tetap konsisten dengan tradisi
masa lalu. Indikasi lain menunjukkan bagaimana orientasi studi banding
dilakukan oleh bagian pengasuhan IPDN pada sekolah-sekolah militer, bukan pada boarding
school sipil sebagaimana harapan publik. Jika ini tetap terjadi, sepertinya
kita enggan dan tak jera untuk belajar dari peristiwa masa lalu.
Alasan rasional lain
dari sejumlah kalangan meniadakan IPDN adalah perlunya efisiensi. Indikasinya,
sebuah acara di stasiun TV pada bulan September 2011, Andrinof Chaniago
(pengamat kebijakan publik UI) berpendapat bahwa salah satu kebijakan yang
mesti dilakukan dalam rangkaian moratorium pegawai negeri adalah menghentikan
rekrutmen PNS lewat jalur sekolah kedinasan. Tentu saja salah satunya
adalah membubarkan IPDN. Ini menurutnya dapat mendorong terciptanya
efisiensi. Apalagi dengan lahirnya sistem pendidikan nasional yang sejak dua
tahun terakhir pada dasarnya telah mengakhiri riwayat sekolah kedinasan,
kecuali Akademi Militer/Kepolisian. Keduanya bersandar pada sistem yang
berbeda, yaitu undang-undang sistem pertahananan dan keamanan negara. Diluar
itu, semua sekolah kedinasan merujuk pada sistem pendidikan nasional dan aturan
internal masing-masing departemen.
Pada awal November 2011, politisi senior Alex Litaay dari PDIP mengkritik pedas
Kemendagri dalam sebuah rapat komisi II tentang ketidakkonsistenan pemerintah
berkaitan dengan rekrutmen pegawai negeri sipil. Hal itu ditunjukkan
dengan rekrutmen praja IPDN yang mencapai 2000 orang pada tahun 2011, sementara
pada saat yang sama moratorium rekrutmen pegawai negeri diberlakukan. Kebijakan
tersebut menurutnya telah menimbulkan diskriminasi dan menunjukkan bahwa
kepentingan pusatlah yang lebih dominan muncul dibanding kepentingan rakyat di
daerah. Dengan penuh spekulasi beliau menyatakan bahwa jumlah alumni IPDN
dilapangan sudah terlalu banyak khususnya mereka yang ditempatkan di level
kecamatan, kelurahan dan sekretaris desa. Sekalipun spekulasi tersebut cukup
menggelikkan jika dikonfirmasikan pada realitas dilapangan namun cukup bagi
kita untuk merenungkan kembali sejauhmana masa depan IPDN.
Pada tgl 20 Nov 2011 seorang kawan saya yang bekerja di lingkungan IPDN
Jatinangor meminta tanggapan lewat facebook sebuah draft permendagri
tentang status pengukuhan pamong praja muda yang diajukan ke Kemendagri untuk
disahkan. Draft tersebut ditolak dengan alasan ketidakjelasan dasarnya.
Tentu saja secara normatif yang dimaksud adalah tidak jelas baik secara
yuridis, sosiologis dan filosofis. Praktisnya penolakan tersebut dilengkapi
dengan isi disposisi; apakah signifikansinya jika pengukuhan pamong praja muda
tanpa dilandasi oleh Permendagri dimaksud? Lebih jauh, apakah dampak yang dapat
timbul pada pegawai negeri sipil lain? Dengan berasumsi bahwa semua
pegawai negeri sipil dalam konteks kekinian adalah juga pamong praja, maka
apakah perbedaan dengan alumni IPDN dilingkungan kementrian dalam negeri?
Tidakkah hal ini menimbulkan diskriminasi?
Lepas dari dua perspektif publik dan sedikit kegelisahan kemendagri, yang
menarik untuk dicermati adalah statement Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto pada tgl
21 Nov 2011 (sebagaimana kutipan hal. facebook Kasubag Rumah Tangga
Kemendagri), bahwa pendidikan kedinasan sebagaimana STPDN yang saat ini
berganti nama menjadi IPDN diusulkan untuk dibubarkan dengan alasan pola
regionalisasi saat ini menjadi sumber disintegrasi bangsa. Tanpa memahami
bagaimana kondisi IPDN regional lebih jauh, Kuntoro menganggap bahwa dengan
kebijakan regionalisasi justru merupakan gejala awal lahirnya disintegrasi.
Akar-akar pemerintahan menurutnya berada di kecamatan, kelurahan dan desa,
semua itu sudah dimasuki oleh alumni IPDN, namun menjadikan regionalisasi
adalah awal dari tumbuhnya bibit kedaerahan, bukan nasionalisasi yang dapat
melahirkan spirit nasionalisme sebagaimana harapan semula ketika dibentuk di
Jatinangor (1990). Tentu saja pernyataan sentimentil tanpa pengamatan detil
semacam itu rasanya seperti membangunkan seluruh spesis alumni pendidikan
tinggi kepamongprajaan yang masih tersisa baik APDN, IIP, STPDN dan IPDN di
dalam maupun luar negeri.
Efisiensi dan Masa
Depan IPDN
Sebagaimana kita ketahui, kebijakan regionalisasi adalah konsekuensi dari
pilihan paling mungkin yang telah diambil oleh presiden sebagai hasil evaluasi
IPDN secara menyeluruh sejak tahun 2004. Alasan regionalisasi pada
dasarnya merujuk dari dokumen hasil tim evaluasi IPDN saat itu, yaitu
bertambahnya jumlah praja tanpa diimbangi oleh kapasitas yang tersedia
cenderung menimbulkan gesekan konflik baik secara vertikal maupun
horisontal. Kondisi ini hanya mungkin dilakukan melalui perluasan kampus
sebagaimana tertuang dalam salah satu opsi yang diajukan waktu itu, yaitu
regionalisasi.
Pilihan terhadap opsi tersebut bukan tanpa disadari menimbulkan biaya yang tak
sedikit. Sebenarnya, jika IPDN masih menggunakan dana alternatif seperti
Dana Pendamping (Dapen) yang selama ini di sharing dari pemerintah
daerah, maka beban pembukaan IPDN regional mungkin tak begitu terasa menyedot
APBN sedemikian besar. Namun sejak alokasi Dapen dihentikan atas catatan BPK,
maka praktis semua operasionalisasi IPDN di pusat maupun daerah bertumpu pada
APBN semata. Alasan BPK menghentikan Dapen karena banyak temuan yang
menunjukkan bahwa penggunaan Dapen lebih untuk kepentingan yang tidak jelas
dari sekelompok oknum elit birokrat di lingkungan kampus. Dana tersebut
mengucur deras untuk urusan seremonial yang menjadi ciri khas lembaga kedinasan
IPDN. Anggaran milyaran bisa dihabiskan dalam sehari untuk sebuah upacara
pengukuhan muda praja, wisuda dan pengukuhan pamong praja muda. Dalam setahun,
ritual tersebut dilakukan tiga kali sehingga relatif menyedot biaya yang tak
sedikit. Kini, pembiayaan IPDN di pusat maupun regional bertumpu pada APBN
murni, selain berharap sedikit banyak belas-kasihan pemda yang kebetulan
wilayahnya menjadi lokus IPDN regional. Hal itu bisa dilihat mulai dari
kasus tukar guling pengadaan tanah, bantuan operasional kenderaan dinas hingga
penempatan personil pemda dilingkungan birokrasi IPDN regional. Pendeknya, IPDN
regional dijalankan dengan semangat pantang menyerah, apa adanya, jatuh bangun
demi menjalankan amanah keppres.
Dengan segala bentuk keterbatasan tersebut, rekrutmen IPDN sebenarnya tidaklah
bermasalah jika dilakukan dengan membatasi jumlah yang akan diterima pada tahun
2011. Disinilah masalahnya, ketika kebijakan moratorium dikeluarkan
presiden sejak bulan Juli 2011 hingga Desember 2012, semua akumulasi dari sisa
pegawai yang seharusnya diterima pada rentang waktu tersebut tak memiliki
peluang. Kemungkinan spekulasi idealnya adalah memindahkan alokasi ke
sekolah kedinasan seperti IPDN yang dengan cara tersebut masalah alokasi
pegawai sisa dapat dituntaskan, kecuali tenaga dokter spesialis, guru/dosen,
analis, apoteker dan perencana.
Mungkin saja bagi Kemendagri ini adalah peluang, namun bagi IPDN sendiri
merupakan tantangan penuh resiko. Peluang, karena rekrutmen yang banyak
bisa jadi mendatangkan rezeki mulai dari testing masuk hingga kenaikan alokasi
anggaran bagi siapa saja. Bagi IPDN sendiri, ini menjadi semacam duri
dalam daging, sebab menerima praja dalam jumlah banyak sama saja dengan
mengulang kembali kecelakaan sejarah dimasa Wahyu Hidayat (2004) dan Clift
Muntu (2007). Tetapi, bagaimanapun hebatnya sejumlah guru besar dan doktor yang
mulai melimpah disana, tak mungkin menolak kebijakan Kemendagri yang bersifat
hirarkhis dan top down. Apalagi IPDN hanya semacam unit pelaksana
teknis dibawah koordinasi Badan Diklat Depdagri dan berada dibawah kendali
langsung Sekretaris Jenderal Kemendagri. Bisa dimaklumi mengapa
pengangkatan seorang Rektor hingga eselon IV dilingkungan IPDN sangat
ditentukan oleh kemauan satu orang. Situasi ini jelas sangat berbeda
dibandingkan pola pengangkatan Rektor di lingkungan IIP yang sangat demokratis
justru pada saat rezim otoriter-sentralistik masih berkuasa. Saat ini, ketika
lingkungan kita tampak demokratis-desentralistik, justru pola pengangkatan
Rektor, rekrutmen praja hingga pelantikan seorang pejabat paling rendah di IPDN
bergantung secara otoriter-sentralistik dilingkungan tertentu. Praktisnya, IPDN
sebenarnya kehilangan sebagian otonomi sejak digabungkannya IIP dan STPDN
menjadi IPDN, sekalipun disatu sisi sangat disadari sebagai lembaga pendidikan
kedinasan semata. Inilah alasan logis mengapa IPDN tak memperlihatkan
perkembangan yang lebih baik sekalipun disana-sini seakan tampak sedang
mempermak baju reformasi.
Pasca moratorium dikeluarkan presiden, alokasi praja bertambah hampir 2000
orang. Dampak secara internal bisa ditebak, praja mengalami transisi yang
mengganggu pola makan, belajar, istrahat hingga penggunaan fasilitas sarana dan
prasarana. Ini memang sebuah konsekuensi dari kebijakan yang terkesan tak
direncanakan secara matang. Prosesi makan yang seharusnya di ruang makan kini
beralih ke ruang belajar dihampir semua praja tingkat akhir (Wasana Praja).
Konsekuensi lain, durasi pengajaran berhimpitan dengan bidang pelatihan dan
pengasuhan yang mengakibatkan pemotongan waktu belajar hingga 50 persen.
Artinya, untuk saat ini setiap dosen hanya diperkenankan mengajar selama 1 jam
15 menit. Semua ini dianggap hanya akan berlangsung dalam beberapa bulan
kedepan sampai dengan kesiapan sarana di tingkat regional. Masalahnya,
apakah kampus regional jauh lebih siap menerima tambahan praja sedemikian
banyak? Melihat kasus IPDN Makassar, tentu saja memprihatinkan sekaligus
mengundang resiko besar dikemudian hari.
Dampak secara eksternal dapat kita amati dari sejumlah kritik dan hasil
evaluasi seperti dikemukakan diatas. Ekstensifikasi IPDN dalam bentuk perluasan
kampus hingga menyerap biaya besar setiap tahun sebagaimana kebijakan
regionalisasi saat ini sama halnya dengan membangunkan para politisi di senayan
yang selama ini sudah cukup diam dan memaafkan segala bentuk kekerasan masa
silam yang pernah dipraktekkan di IPDN. Membengkaknya dana setiap tahun
tentu saja mengundang pertanyaan besar bagi para politisi tentang seberapa
efektifkah pendidikan di IPDN memberikan hasil yang optimal bagi bangsa dan
negara. Belum lagi kalau hasil investigasi terhadap semua alasan
rehabilitasi dan pembangunan disana-sini tak berbanding lurus dengan
kenyataan. Mudah bagi kita untuk curiga, kebocoran relatif terjadi
dimana-mana.
Pada sisi lain, perluasan program secara internal melalui peningkatan derajat
diploma ke strata 1 hingga program doktoral tanpa sadar sebenarnya sedang
mengganggu kepentingan stakeholders diberbagai perguruan tunggi non
kedinasan. Sebut saja Fakultas Sospol di hampir semua perguruan tinggi
yang mengalami penurunan minat mahasiswa dibanding masuk ke IPDN. Kalau
pada level dasar (diploma) saja IPDN sudah menciptakan kelangkaan sumber daya
bagi asupan gizi perguruan tinggi di jurusan administrasi, pemerintahan dan
politik, maka bagaimana lagi jika IPDN membuka program doktoral. Tentu
saja semua birokrat yang nota bene memiliki akses pada kekuasaan dan
uang cenderung akan mengambil pilihan instant mendaftar di IPDN
dibanding perguruan tinggi lain. Secara nyata alasan ini memang tak begitu
nampak, namun tetap saja menjadi ancaman latent sebagaimana pernah
muncul sebagai alasan lahirnya revisi undang-undang sistem pendidikan nasional
dimasa Bambang Sudibyo.
Pendapat Alex Litaay dan Kuntoro Mangkusubroto yang berspekulasi bahwa entitas
pemerintah di level kecamatan dan kelurahan sudah penuh sesak dengan alumni
IPDN tentu saja mudah dijelaskan seandainya bagian inventarisasi alumni
memiliki data yang komprehensif di daerah. Sepanjang perjalanan beberapa
kawan dari Sabang sampai Merauke, alumni IPDN di kecamatan, kelurahan dan desa
terbilang sedikit, sekalipun harus diakui bahwa mereka lebih dominan dibanding
pegawai lain. Mengapa? Karena setiap alumni memang diproduk untuk
merepresentasikan 3 orang pegawai biasa, atau 1 berbanding 3. Apa yang
dominan terlihat? Karakternya tentu saja dominan dikenali mulai dari
performance fisikal, psikologikal, moral
dan sosial. Fisikalitas direpresentasikan oleh tubuh yang sehat, kuat,
tinggi, bersih, rapi dan tak gampang lelah. Ini menciptakan ouput kinerja
performance pemerintah yang melebihi rata-rata. Psikologikalitasnya dilihat
dari kemampuan mereka untuk survive dan mengendalikan emosi saat
berhadapan dengan setiap masalah dalam lingkungan birokrasi. Ini menghasilkan
sikap kenetralan dalam menghadapi situasi politik dimana saja. Moralitas
terlihat dari kemampuan mereka menyerap nilai-nilai luhur agama dan budaya
sebagai sumber etika tertinggi dalam bersikap pada masyarakat dan patuh
sepenuhnya pada hukum birokrasi dan pemerintahan. Ini memproduk kejujuran
sebagaimana contoh kecil ketika Tsunami
Aceh terjadi, hanya 3 orang alumni yang menjaga uang tunai benilai ratusan miliar
rupiah di sebuah tempat di Aceh atas perintah seorang Menteri tanpa kekurangan
sepersenpun sampai kemudian diserahkan secara manual kepada tim BRR pimpinan
Pak Kuntoro. Sedangkan sosialitas tercermin dari sikap mereka dalam
beradaptasi dimanapun mereka ditempatkan. Kemampuan ini tak jarang
mendorong mereka menjadi alternatif pilihan dalam seleksi kepemimpinan
lokal. Itulah mengapa beberapa diantaranya menjadi pejabat politik
sekalipun masih di usai belia. Kenyataan ini dapat dilihat pada puluhan
jabatan politik sebagai Bupati dan Wakil Bupati, anggota DPRD dan DPR-RI,
hingga ratusan jabatan eselon 2 (Sekda
dan Kepala Dinas, Badan dan Kantor), eselon 3 (Kabag, Camat, Lurah dan Kepala
Bidang), dan eselon 4 (kasubag dan sejenisnya) yang diduduki dihampir semua
strata pemerintahan. Jabatan politik di dominasi oleh lulusan APDN dan
IIP, sedangkan jabatan struktural dikuasai oleh alumni lanjutannya, STPDN dan
IPDN. Aspek intelektual masuk dalam bidang pengajaran walau porsinya tak begitu
dominan, sebab fokus utama pendidikan IPDN adalah membangun karakter manajer
pemerintahan yang profesional sesuai visi misinya. Aspek intelektual baru
dikembangkan pada strata selanjutnya selepas melaksanakan tugas selama dua
tahun. Inilah basis empirikal yang akan dipertemukan dalam dunia teoritik
dan konseptual sehingga mampu memperkaya khasanah keilmuan seorang pamong praja
ketika pendidikan lanjutan dilaksanakan pada tahap berikutnya
(S1,S2,S3). Faktanya,
sebagian besar alumni telah menyelesaikan strata magister di dalam dan luar
negeri. Ditingkat post graduate, diantaranya adalah lulusan universitas
ternama di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Perancis, Australia,
Jepang, Malaysia dan Singapura. Hingga tulisan ini dibuat, ratusan alumni
yang masih berstatus sebagai tugas belajar di universitas lokal seperti UI,
UGM, UNPADJ, UNHAS, UNBRAW, UNDIP, UNTAD, UNTAN, UNCEN hingga luar negeri tentu
saja merasa tergugah untuk melakukan klarifikasi terbuka.
Setiap tahun Kab/Kota hanya menerima rata-rata dua sampai 3 orang alumni IPDN.
Ini jelas jauh dari kebutuhan riil pamong praja yang sesungguhnya. Bahkan
dampak dari pemilukada langsung saat ini telah membatasi peluang alumni IPDN
menduduki jabatan yang sejak awal dipersiapkan untuk itu, yaitu Camat dan
Lurah. Peluang sistem yang longgar tersebut memungkinkan alumni perguruan
tinggi lain seperti sarjana agama, olah raga, seni, teknik dan kesehatan bukan
mustahil bahkan dominan menjabat sebagai Camat dan Lurah di berbagai kasus
daerah otonom. Belum lagi tingkat kepatuhan pemerintah daerah terhadap
regulasi pusat sebagaimana amanat UU 32/2004, PP 19/2008 atau Permendagri
30/2009 berkaitan dengan persyaratan Camat dan Lurah dibawah titik nadir.
Semua itu menunjukkan secara gamblang bahwa alumni IPDN justru tak memperoleh
posisi siginifikan sebagaimana dispekulasikan oleh kedua tokoh diatas. Sebaliknya, diperlukan sebuah political
will yang mampu mendorong dilaksanakannnya semua aturan dimaksud. Mungkin satu-satunya kepala daerah yang
berbaik hati menempatkan semua alumni IPDN/APDN/IIP kedalam posisi yang sesuai
adalah Bupati Lebong Provinsi Bengkulu. Sisanya, sekalipun kepala daerahnya
alumni pendidikan tinggi kepamongprajaan, tidak dengan serta merta legowo
menempatkan alumni IPDN kedalam jabatan yang sesuai dengan porsinya.
Bahkan, kita semua relatif sangat sulit menemukan alumni IPDN menjadi camat
atau lurah di Provinsi Jogjakarta. Mengutus calon praja-pun jarang
dilakukan, disebabkan dinamika lokal yang bernuansa monarchis-feodalistis.
Lepas dari kesenjangan itu, dalam kondisi
demikianpun mereka masih memperlihatkan prestasi yang membanggakan dimana
setiap tahun peraih Lurah Terbaik dan Camat Terbaik di Istana Presiden
didominasi oleh lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN.
Isu Disintegrasi dan
IPDN
Isu disintegrasi selama ini merujuk pada upaya dan potensi terjadinya
separatisme. Dijaman orde baru isu ini muncul sejak pola pembagian kue
ekonomi dan eksistensi budaya dinilai tak mencapai keadilan antara pusat dan
daerah. Hal ini bisa ditelusuri dalam kasus Aceh, Papua, Riau hingga
Jogja. Lalu apa hubungannya dengan IPDN? Selama ini, satu-satunya alasan
filosofis-historis yang membentengi eksistensi pendidikan pamong praja adalah
kemampuan melakukan integrasi melalui sikap adaptif sebagai seorang pemimpin
yang diajarkan untuk mampu mengayomi siapa saja dan dimana saja. Unsur asthabrata
yang menjadi karakteristik sosok kepemimpinan Jawa selama ini diterima secara
universal dan menjadi pondasi utama dalam proses penanaman nilai di IPDN.
Bandingkan dengan nilai-nilai kepemimpinan Akabri yang dijiwai oleh banyak
prajurit seperti Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto. Dengan modal
itulah maka setiap alumni diharapkan mampu hidup dan menghidupi lingkungannya
dalam segala bentuk ruang dan waktu.
Dalam proses pendidikan yang dijalani, setiap praja diarahkan belajar pada
realitas kehidupan yang hampir mendekati miniatur objek dilapangan.
Disinilah mengapa praja mesti hidup secara kolektif dari Sabang hingga Merauke,
agar mereka saling mengenal dan mampu mengembangkan daya adaptabilitasnya
disetiap persentuhan dan interaksi sejak bangun hingga tidur kembali.
Kebijakan regionalisasi pada dasarnya hanya memindahkan ruang yang terlalu
sempit di Jatinangor tanpa mengurangi representasi praja dari berbagai wilayah
penerimaan. Artinya, semua IPDN regional setidaknya tetap merepresentasikan
kebhinekaan dalam ketunggal-ikaan, dimana praja dari setiap provinsi
terwakili. Jadi pada dasarnya tidak ada yang berubah kecuali lokasi,
lokasi dan lokasi. Jika bukan karena opsi regionalisasi, tentu saja yang
lebih tepat adalah opsi pertama, yaitu mengembangkan lokasi IPDN di Jatinangor
yang masih sangat luas dan mubazir selama ini.
Bagi semua yang pernah belajar tentang ilmu pemerintahan, paham bahwa desa
adalah akar dan basis pemerintahan traditional dan paling tua dibanding negara
itu sendiri. Bahkan jauh sebelum terbentuknya desa, individu dan keluarga
adalah cikal bakal dari akar-akar pemerintahan di desa (Mac Iver, 1999).
Karena itulah mengapa semua objek pembangunan ditujukan ke arah pembangunan individu,
keluarga dan desa, hanya dengan satu harapan terbentuknya pemerintahan yang
baik dapat dimulai. Mudah-mudahan Pak Mangkusubroto bisa belajar banyak tentang
ilmu pemerintahan dikampus IIP Jakarta. Demikian pula kelurahan dan kecamatan
yang merupakan basis pengembangan pemerintahan lebih lanjut. Justru karena
pemahaman itulah sehingga perlunya tanggungjawab pemerintah pusat terhadap
akar-akar pemerintahan tadi dimana diperlukan aparat khusus yang benar-benar
memahami karakteristik pemerintahan desa, kelurahan dan kecamatan. Dan
dalam konteks itulah kita membangun IPDN, agar mampu menjawab masalah tersebut
minimal dimulai sebagai sekretaris desa. Adakah perguruan tinggi lain
yang secara khusus menyiapkan dan menjawab masalah yang dikemukakan diatas?
Saya yakin belum ada, kecuali di IPDN. Saya sependapat jika alumni STAN
terkesan hanya milik Kemenkeu, Akademi Perhubungan milik Kemenhub atau Akademi
Imigrasi hanya milik Kemenhum dan HAM, namun bukankah IPDN bukan milik
Kementrian Dalam Negeri semata? Semua alumni begitu selesai langsung
kembali ke daerah otonom di seluruh penjuru tanah air, berasimilasi dan
berjibaku dengan kompleksitas masalah di daerah yang penuh suka dan tak
sukanya. Kemendagri pada dasarnya hanya memfasilitasi mulai dari rekrutmen
hingga menghasilkan outputnya. Untuk apa? Karena Kemendagri menjalankan
tugas filosofistik negara, yaitu menjaga perbedaan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ini jelas direpsentasikan oleh Dirjend Otda,
Kesbangpol dan Pemerintahan Umum. Sebagai bentuk konkrit dari tugas pokok itu,
maka IPDN dibentuk Kemendagri untuk dididik agar terbentuk sebuah wawasan
kebangsaan yang mampu menciptakan integrasi dimanapun ditugaskan. Betapa semua
filosofi itu dapat dibuktikan ketika Timor Leste pisah dari NKRI, sebagian
alumni Timor Leste hingga saat ini tetap bertahan sebagai pegawai negeri
diberbagai pelosok Pulau Jawa yang justru semula dipandang sebagai penjajah
bagi bangsa mereka. Bukankah semua itu menunjukkan keefektifan dari
tujuan dan makna integrasi yang dicita-citakan? Kalaupun ada kasus dimana
alumni IPDN terkait GAM di Aceh (2008), bukanlah hal yang dapat ditolerir
begitu saja, apalagi sampai tutup mata, semua itu harus dilihat kasus-perkasus,
tak bisa digeneralisasikan secara sederhana. Apakah sejumlah tentara dan
polisi yang berbelot menjadi anggota pemberontak dijaman kemerdekaan atau
menjadi anggota GAM patut digeneralisasi? Kita semua sependapat, tidak.
Efisiensi IPDN
Jika efisiensi yang menjadi alasan untuk
melakukan restrukturisasi dilingkungan IPDN, saya pikir semua alumni relatif
sependapat. Memperluas IPDN dalam bentuk regionalisasi bukanlah solusi
yang efektif dalam upaya menghentikan kasus kekerasan di IPDN. Buktinya,
sepanjang IPDN regional dibuka sejumlah kasus kekerasan tetap muncul sekalipun
dalam skala yang lebih kecil. Hal itu bisa dibuktikan pada sejumlah praja
yang dikeluarkan sepanjang tahun 2009-2011 di IPDN regional akibat kekerasan
dan perilaku asusila. Dampak pembukaan IPDN regional secara teknis setidaknya
meliputi ;
1. Membengkaknya biaya
pengelolaan pendidikan, khususnya operasionalisasi belajar-mengajar.
Dalam tahun 2012, IPDN merencanakan menghilangkan biaya perjalanan dinas untuk
alasan mengajar di IPDN regional. Kondisi ini membuat para dosen, pelatih dan
pengasuh enggan melaksanakan tugas di daerah disebabkan fasilitas sarana dan
prasana yang tak layak jika membawa keluarga.
2. Konsekuensi dari
kebijakan diatas maka seluruh proses belajar-mengajar diserahkan sepenuhnya
kepada IPDN regional dengan menggandeng dosen, pelatih dan pengasuh
lokal. Akibatnya, kompetensi pengajar tentu saja jauh dari harapan,
dimana muatan teoritik cenderung lebih banyak karena bergantung pada
universitas lokal dibanding praktikum yang diharapkan berasal dari dosen yang
setidaknya memiliki pengalaman lapangan (pamong praja). Kondisi ini
menjadikan IPDN regional praktis kehilangan nilai utama yang justru menjadi
pembeda dengan sekolah lain. Belum lagi jika kampus lokal tak begitu
steril dengan isu separatisme, sebagaimana indikasi di IPDN regional Papua,
selain berakreditasi rendah.
3. Perluasan IPDN
regional tak diimbangi paralel dengan rekrutmen dosen, pelatih dan pengasuh
yang kompatibel. Akibat pertama, terjadi kelangkaan dosen, pelatih dan
pengasuh. Dampaknya, bertumpuknya mata kuliah pada setiap dosen aktif.
Setiap dosen memegang lebih dari 3 mata kuliah yang bahkan tak sesuai dengan
kompetensinya. Semua itu dilakukan dengan alasan untuk memenuhi target
sertifikasi. Kedua, kekurangan dosen secara terpaksa ditutupi dengan
mengkoversi pegawai struktural menjadi dosen tanpa seleksi secara fairness. Akibatnya, banyak dosen
yang benar-benar tak memiliki kompetensi dasar lahir sebagai dosen yang
berkarakter nekat. Semua itu menjadikan IPDN jauh dari ras unggul, apalagi
nilai istimewa. Banyaknya dosen hasil rekrutmen siluman mengakibatkan
biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi semakin tinggi ditengah
terbatasnya dana yang dimiliki, selain mempersempit peluang bagi rekrutmen
dosen, pelatih dan pengasuh yang benar-benar memiliki kompetensi.
4. Pola distribusi praja
secara regional tak mempunyai ukuran yang jelas sehingga membuka peluang
terciptanya mekanisme transaksional antara praja yang ingin tetap di Jatinangor
dengan oknum birokrat dilingkungan IPDN. Bagi praja yang tak memiliki
akses dengan elite di lingkungan IPDN sudah pasti harus pasrah menerima nasib
ditempatkan di IPDN regional.
5. Ketiadaan evaluasi
komprehensif apakah perbedaan praja yang pernah ditempatkan secara regional di
daerah dengan mereka yang tetap di Jatinangor memiliki keunggulan atau
sebaliknya. Apakah mereka yang berada di IPDN regional jauh lebih
nasionalis atau lebih tinggi fihgting
spirit-nya dibanding mereka yang duduk manis di IPDN Jatinangor?
Ataukah justru sebaliknya. Ini penting untuk mengukur keberhasilan dan
kegagalan atas kebijakan regionalisasi. Perlu diingat, lingkungan sangat
mempengaruhi tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan seorang kader.
Kekhususan IPDN
Membahas kekhususan IPDN dalam prasangka dan
kecurigaan banyak pihak dipandang sebagai sebuah ekslusivisme. Secara
filosofistik, pemerintah merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki
keistimewaan. Keistimewaan itu menurut Ndraha (1999) terletak pada penggunaan
kekuasaan yang secara otoritatif dapat digunakan pada semua cabang kekuasaan,
apakah selaku eksekutor, legislator maupun yudikator. Sebagai eksekutor,
pemerintah menentukan tindakan apa yang sepatutnya dilakukan atau bahkan tidak
dilakukan untuk kepentingan publik (perspektif implementasi kebijakan publik,
Thomas R. Day). Sebagai legislator, pemerintah menentukan aturan apa yang
sebaiknya dibuat agar efektif menjamin kemaslahatan orang banyak (perspektif
politik Aristoteles). Bahkan sebagai yudikator, pemerintah berhak
menentukan seberapa besar perlindungan yang mesti diberikan pada setiap
warganya sejauh benar-benar untuk kepentingan umum (perspektif hukum
Cicero).
Oleh karena pemerintah memiliki keistimewaan tadi, maka memikul tanggungjawab
sebagai pemerintah tidaklah dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Setidaknya demikian kata Aristoteles (Giroth:2006). Mereka perlu dididik
sedemikian rupa untuk menjalankan fungsi-fungsi istimewa tersebut. Dalam
kaitan inilah mengapa IPDN secara khusus dibentuk sejak jaman pra-kemerdekaan
hingga pasca kemerdekaan (Labolo:2011). Jika kita pelajari sejarah pamong praja
(Suryaninggrat:1992, Haily:2010, Ndraha:2010), terlihat jelas bahwa kebutuhan
pendidikan pamong praja memiliki makna khusus. Dengan demikian jika IPDN
sejak awal pembentukannya tak memiliki makna khusus, maka bukankah kemendagri
sebagai pencetus awalnya tak beralasan untuk mempertahankan hingga saat ini?
Saya pikir justru karena terdapatnya kekhususan itulah sehingga eksistensi IPDN
masih tetap dipertahankan. Jika tidak, bukankah lebih efektif dan efisien jika
rekrutmen pegawai diserahkan sepenuhnya ke daerah.
Meninggalkan sejenak
pertanyaan diatas, saya ingin menjelaskan apakah nilai khusus dimaksud? Pertama,
kekhususan tersebut tentu saja berkaitan dengan filosofi fungsi pemerintahan
diatas. Kedua, kekhususan tadi berkaitan dengan kompetensi yang
dimilikinya, yaitu kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi.
Kemampuan integrasi menghasilkan modal kepemimpinan dalam masyarakat, kemampuan
menjalin koordinasi melahirkan karakteristik sebagai manajer dalam birokrasi,
sedangkan kemampuan beradaptasi menghasilkan sikap kenegarawanan dalam mengawal
pluralitas masyarakat. Ketiga, penggunaan otoritas oleh pemerintah
membutuhkan seperangkat mental yang tak rapuh dan tak mudah goyah oleh tekanan,
termasuk ketika membuat sebuah keputusan yang berkecenderungan menimbulkan
resiko tinggi. Semua itu harus ditanggung dan dijawab sedemikian rupa
sehingga setiap pamong haruslah mereka yang memiliki nyali dan dapat menerima
kenyataan yang terburuk sekalipun. Bukan pejabat yang lemah mental hingga
meneteskan air mata ketika terdesak oleh sejumlah pertanyaan politis
sebagaimana kita saksikan setiap kali pemerintah berhadapan dengan kaum
politisi. Inilah salah satu keistimewaannya. Keempat, jika menjadi
kelompok yang diperintah membutuhkan sebuah pemahaman akan hak dan kewajiban
yang jelas, lalu mengapa menjadi kelompok yang memerintah tak dibekali oleh
pendidikan yang secara khusus dapat membentuk karakter dimaksud? Disinilah
keistimewaan berikutnya. Kelima, apapun nilai kekhususan atau
keistimewaan yang melekat sebagai konsekuensi dari fungsi pemerintah yang
istimewa diatas tidaklah dapat dipandang secara diskriminatif. Disini mengandung
nilai keadilan proporsionalitas. Logikanya, bukankah diantara 33 provinsi
ada 4 provinsi yang tak boleh kita anggap diskriminatif karena diperlakukan asimetrik
lewat undang-undang khusus. Ini namanya keadilan proporsional. Dengan demikian
PNS alumni IPDN tidaklah boleh dipandang diskriminatif jika dibanding dengan
PNS lain dikarenakan mereka dididik dengan kompetensi khusus. Kekhususan
itupun tak serta merta meningkatkan gaji mereka atau mempercepat kenaikan
pangkat mereka, bukankah sama saja dengan PNS lain. Demikian pula mereka
yang lulus AKPOL dan AKMIL, mereka dididik dengan kompetensi khusus, namun tak
mengubah hak dan kewajiban mereka sebagaimana anggota militer lain, semua
bergantung pada pimpinan masing-masing. Dan sejauh ini tak ada militer
biasa yang protes karena kekhususan dimaksud. Demikian pula PNS alumni
IPDN, sejauh ini tak ada PNS biasa yang protes disebabkan kekhususan yang
dimilikinya sejak awal. Lalu, mengapa kita selaku desainer dan owner yang
gelisah dan terkadang mempersoalkan? Jika ingin biasa-biasa saja, tutuplah
kampus IPDN, lalu biarkan rekrutmen berlangsung menurut kehendak raja-raja
kecil yang ada di daerah, mudah-mudahan kompetensi lokal mereka mampu
melahirkan kemampuan membangun integrasi, koordinasi dan adaptasi.
Akhirnya, kita semua semakin optimistik, jika APDN
lokal saja mampu melahirkan putra-putra terbaik sekelas Moerdiono (Mantan
Mensekneg 3 periode di era Orde Baru), Prof. Dr. Ryaas Rasyid (mantan Menteri
Otonomi, Menpan dan Wantipres, Konseptor dan perubah sistem pemerintahan daerah
lewat desentralisasi dan otonomi daerah), Prof. Dr. Taliduhu Ndraha (Guru Besar
IIP), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Dirjen Otda), Dr. Made Suwandi
(Dirjen PUM), Dr. Syamsul Arief (Dirjend Bangda), Tursandi Alwi (mantan deputi
wapres), Andi Luthfi (Deputi Wapres), Dr. Edy Sutopo (mantan Kepala BKN), Prof.
Dr. Sadu Wasistiono, dan puluhan doktor serta guru besar di pusat dan daerah,
apatah lagi jika ia lulusan pendidikan tinggi kepamongprajaan yang berstatus
nasional seperti saat ini. Dengan segala hormat, orang bervisi dan teruji
seperti Pak Mangkusobroto tak perlu kuatir, sebab dalam tempo 5 hingga 10 tahun
kedepan semua tampuk pemerintahan dari akar hingga pucuk pimpinan akan terisi
dengan sejumlah alumni terbaik lulusan IPDN.